Oleh : Hadi Irfandi
Masih menjadi buah bibir, pernyataan Presiden Prabowo yang sempat menyentil soal “orang terlalu pintar” yang katanya justru sering kali tidak menjadi apa-apa.“Karena itu, saya sangat bahagia. Saya menerima mandat Oktober 20. Mungkin sekarang baru masuk bulan keenam. Tapi dengan niat yang baik dari semua pihak yang diberi amanat oleh rakyat, dengan kebijakan yang masuk akal—bukan kebijakan yang perlu orang terlalu pintar. Kadang-kadang orang terlalu pintar malah nggak jadi apa-apa, ya kan?” ujarnya di sela sela acara panen raya di Majalengka, Jawa Barat, dilihat dari YouTube Sekretariat Presiden, Senin (7/4/2025).
Pernyataan ini menyiratkan bahwa istilah "terlalu pintar" dikaitkan dengan kerumitan yang tidak produktif. Dalam pandangan tersebut, mereka yang “terlalu pintar” justru dianggap tidak mampu menghasilkan kebijakan yang sederhana dan masuk akal.
Namun, jika kita menganalisis dengan jeli, kita justru akan sampai pada kesimpulan yang sebaliknya: menyederhanakan sesuatu yang rumit hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar memahami persoalan secara menyeluruh. Oleh karena itu, menganggap orang pintar tidak berguna hanya karena hasil pikirannya tampak rumit adalah sebuah sesat pikir.
Peran Semantik dalam Menafsirkan Kepintaran
Faktanya, terdapat spektrum yang luas antara menjadi “pintar” dan menghasilkan sesuatu yang “masuk akal.” Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri mendefinisikan pintar sebagai kemampuan atau kemahiran dalam melakukan sesuatu—sebuah kata yang sifatnya netral.
Lebih jauh, saat seseorang menyebut bahwa orang yang "terlalu pintar" justru sering tidak masuk akal, terselip rasa kurang suka atau ragu terhadap kepintaran itu sendiri. Seolah-olah, semakin pintar seseorang, semakin jauh pula ia dari kemampuan menyederhanakan hal-hal rumit, terutama saat memutuskan kebijakan baru yang dampaknya menyeluruh secara nasional. Pandangan ini memberi kesan bahwa kepintaran dianggap membingungkan atau bahkan tidak berguna. Padahal, kalau dipikir-pikir, orang yang benar-benar paham suatu hal justru bisa menjelaskan dengan cara paling sederhana. Jadi, bukan soal terlalu pintar atau tidak, tapi soal bagaimana menggunakan pengetahuan dengan bijak dan tepat sasaran.
Di sinilah ilmu semantik bisa membantu kita memahami akar dari persepsi semacam itu. Semantik mempelajari makna, baik makna kata secara langsung (leksikal), melalui struktur kalimat (gramatikal), maupun dalam konteks tertentu (kontekstual). Cara seseorang menggunakan istilah seperti "terlalu pintar" sebenarnya mengungkap bagaimana mereka memaknai kecerdasan itu sendiri. Bahasa yang kita pilih dalam menyampaikan gagasan—entah sadar atau tidak—mempengaruhi cara berpikir kita dan juga cara orang lain menafsirkan maksud kita. Maka, tak mengherankan jika sebuah frasa yang terdengar sederhana bisa membawa makna yang dalam, sekaligus memperlihatkan kecenderungan berpikir atau bahkan bias yang dimiliki pembicaranya.
Penulis merupakan mahasiswa dan sedang menempuh studi di Prodi Pendidikan Agama Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
0 facebook:
Post a Comment