Oleh: Syahrati, S.HI., M.Si.
Penyuluh Agama Islam Bireuen
Film Bidaah asal Malaysia tengah menjadi perbincangan publik, termasuk di Indonesia. Kehadiran karakter-karakter yang kuat, alur cerita yang menggugah, serta isu-isu yang diangkat membuat drama ini viral di media sosial, bahkan tokoh “Waled” kerap diparodikan oleh warganet. Namun, yang paling menarik sekaligus mengundang polemik adalah keberanian film ini mengangkat persoalan penyalahgunaan simbol-simbol keagamaan dalam relasi kekuasaan.Tentu saja reaksi publik beragam. Ada yang menilai film ini terlalu berani dan bisa melukai perasaan umat. Ada pula yang melihatnya sebagai cermin sosial, bukan terhadap agama itu sendiri tapi terhadap perilaku segelintir oknum yang memanfaatkan kedudukan dan simbol agama untuk kepentingan pribadi. Dalam hal ini, penting untuk kita menyikapi fenomena ini dengan kepala dingin dan hati yang terbuka, agar tidak terjebak dalam dikotomi pro dan kontra semata.
Agama Tak Pernah Salah
Dalam kehidupan nyata, kita menyaksikan bahwa tidak semua orang yang berbicara atas nama agama benar-benar merepresentasikan ajaran agama yang murni. Ada yang karena kurang ilmu, ada pula yang sengaja memanipulasi ajaran demi tujuan tertentu. Drama seperti Bidaah, jika disikapi dengan bijak, dapat menjadi pengingat bahwa penting bagi umat untuk terus belajar, tidak hanya dari sisi ritual, tetapi juga dari sisi kritis dan etis.
Karakter ‘Waled’ dalam serial ini mungkin disajikan sebagai tokoh fiksi, namun kisah yang melatarinya berasal dari realitas yang pernah terjadi. Hal ini menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya kehati-hatian dalam memilih figur agama yang kita ikuti. Bukan semata melihat tampilan luar atau kepiawaian retorika, melainkan memastikan bahwa mereka memiliki integritas, kedalaman ilmu, dan akhlak yang mulia. Serial ini bukanlah kritik terhadap institusi keagamaan atau pesantren, melainkan dorongan untuk terus memperkuat pendidikan, terutama pendidikan agama yang berpijak pada Al-Qur’an dan hadis.
Salah satu sisi yang paling menyentuh dalam cerita tersebut adalah bagaimana perempuan digambarkan sebagai pihak yang paling rentan terhadap manipulasi. Hal ini menjadi refleksi betapa pentingnya pendidikan agama bagi perempuan. Tidak cukup hanya memahami istilah “syariat” atau “sunnah”, tetapi juga perlu tahu latar belakang, sumber, dan maknanya.
Perempuan perlu diberikan ruang untuk bertanya, berdiskusi, bahkan mengkritisi jika ada hal yang terasa janggal. Dalam Islam, bertanya adalah bagian dari belajar, Rasulullah Saw. sendiri mendorong umatnya untuk menuntut ilmu tanpa membedakan gender.
Nasihat Imam Al-Ghazali
Dalam tradisi keilmuan Islam, memilih guru bukanlah perkara sepele. Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulumuddin mengingatkan, guru sejati bukan hanya seseorang yang menguasai ilmu, tetapi juga yang telah menyatu dengan ilmunya dalam perilaku dan akhlak. Ia bukan sekadar penghafal dalil, melainkan pembimbing ruhani yang mampu mengarahkan muridnya menuju Allah, bukan kepada dirinya sendiri.
Menurut Al-Ghazali, seorang guru yang layak diikuti adalah dia yang menjauhkan murid dari cinta dunia, mengajarkan ilmu dengan kasih sayang, dan hidup dalam kesederhanaan. Ia tidak menjadikan ilmunya sebagai alat untuk meraih kekuasaan atau kemuliaan duniawi. Justru ia mendidik dengan ketulusan, membuka ruang diskusi, dan tidak mematikan akal murid dengan dogma yang menakutkan.
Beliau memberikan peringatan tegas: “Jika engkau melihat seorang guru yang mencintai dunia, jauhilah ia, karena api tidak akan memadamkan api.” Ini tamparan lembut bagi siapa saja yang terlalu cepat menaruh kepercayaan pada seseorang hanya karena simbol keagamaan di tubuhnya.
Di era digital seperti sekarang, kita semakin diuji untuk bisa memilah siapa yang layak dijadikan rujukan agama. Media sosial telah melahirkan banyak “guru atau ustad” dadakan yang piawai berbicara, pandai mengutip ayat, dan lihai memainkan emosi, namun belum tentu punya landasan ilmu yang kokoh. Keviralan sering kali dianggap sebagai legitimasi, padahal dalam tradisi Islam, kealiman lahir dari proses panjang: berguru pada para ulama, memahami ilmu dengan adab, dan menyampaikan dengan tanggung jawab.
Karena itu, umat Islam dituntut tidak mudah percaya hanya karena seseorang tampil dengan pakaian religius, berbicara dengan nada lembut, atau mengutip dalil di tiap kalimatnya. Kita harus bertanya: siapa gurunya, di mana ia belajar, bagaimana akhlaknya, apa tujuannya berdakwah. Sebagaimana pesan para ulama terdahulu, jangan serahkan urusan akhirat kita pada orang yang belum teruji amanah dan ilmunya. Karena keliru memilih guru bukan hanya menyesatkan pikiran, tetapi bisa menggiring kita menjauh dari kebenaran tanpa sadar.
Editor: Sayed M. Husen
0 facebook:
Post a Comment